WHISTLEBLOWING DALAM PERSPEKTIF AUDITING

WHISTLEBLOWING DALAM PERSPEKTIF AUDITING

Untuk dapat mempertahankan kepercayaan dari klien dan dari para pemakai laporan keuangan lainnya, auditor dituntut untuk memiliki kompetensi yang memadai. Oleh karena itu, auditor harus meningkatkan kinerjanya agar dapat menghasilkan produk audit yang dapat diandalkan bagi pihak yang membutuhkan. Guna peningkatan kinerja, hendaknya auditor memiliki sikap profesional dalam
melaksanakan audit atas laporan keuangan. Gambaran tentang Profesionalisme seorang auditor menurut Hall (1968) dalam Herawati dan Susanto, (2009) tercermin dalam lima hal yaitu: pengabdian
pada profesi, kewajiban sosial, kemandirian, kepercayaan terhadap peraturan profesi dan hubungan dengan rekan seprofesi. Selain dituntut memiliki tingkat profesionalisme, seorang auditor juga harus mampu menganalisa situasi mencakup karakteristik-karakteristik yang merupakan perluasan dari isu-isu yang terkait dengan isu moral utama dalam sebuah situasi yang akan mempengaruhi persepsi mereka dalam menentukan keputusan, hal ini biasa dikenal dengan intensitas moral. 

Profesionalisme audit dan intensitas moral merupakan dua aspek yang penting dalam pekerjaan seorang auditor, tidak hanya dalam mengungkapkan kewajaran suatu laporan keuangan tetapi juga dalam mengungkap kecurangan dalam laporan keuangan. Salah satu cara mengungkapkan pelanggaran akuntansi sehingga dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat adalah dengan melakukan whistleblowing.

Whistleblowing adalah pelaporan yang dilakukan oleh anggota organisasi (aktif maupun non-aktif) mengenai pelanggaran, tindakan ilegal atau tidak bermoral kepada pihak di dalam maupun di luar organisasi. Sistem ini disediakan agar para karyawannya atau orang diluar perusahaan dapat melaporkan kejahatan yang dilakukan di internal perusahaan, pembuatan whistleblowing system ini untuk mencegah kerugian yang diderita perusahaan, serta untuk menyelamatkan perusahaan. Sistem yang dibangun ini kemudian disesuaikan ke dalam aturan perusahaan masing-masing, sehingga diharapkan sistem ini akan memberikan manfaat bagi peningkatan pelaksanaan corporate governance (Semendawai dkk,2011:69).

Komite Nasional Kebijakan Governance (2008:3) mendefinisikan whistleblowing sebagai berikut: “Pengungkapan tindakan pelanggaran atau pengungkapan perbuatan yang melawan hukum, perbuatan tidak etis atau perbuatan tidak bermoral atau perbuatan lain yang dapat merugikan organisasi maupun pemangku kepentingan, yang dilakukan oleh karyawan atau pimpinan organisasi kepada pimpinan organisasi atau lembaga lain yang dapat mengambil tindakan atas pelanggaran tersebut. Pengungkapan ini umumnya dilakukan secara rahasia (confidential).” Whistleblowing merupakan sebuah proses kompleks yang melibatkan faktor pribadi dan organisasi. Kebanyakan penelitian menunjukkan bahwa karyawan yang lebih tua dan lebih berpengalaman memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk melakukan Whistleblowing. Hal itu dikarenakan makin berpengalaman seseorang maka makin berkomitmenlah mereka kepada organisasi tempat mereka bekerja (Brabeck,1984; Near dan Miceli.1984;Sims dan Keenan,1998; dalam sagara, 2013).

Whistleblowing dapat dipengaruhi oleh faktor individual dan situasional. Faktor individual merupakan faktor yang ada di dalam diri individu itu yang sendiri yang mempengaruhi keputusannya melakukan whistleblowing. Sedangkan faktor situasional merupakan faktor-faktor yang ada di sekitar individu yang menjadi pendukung bagi individu tersebut untuk melakukan whistleblowing. Faktor individual diantaranya komitmen organisasi. Sedangkan faktor situasional seperti tingkat keseriusan masalah. Pada dasarnya pelapor pelanggaran (whistleblower) adalah karyawan dari organisasi itu sendiri (pihak internal), akan tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya pelapor berasal dari pihak eksternal (pelanggan, pemasok, masyarakat). Pelapor harus memberikan bukti, informasi, atau indikasi yang jelas atas terjadinya pelanggaran yang dilaporkan, sehingga dapat ditelusuri atau ditindaklanjuti. Pada prinsipnya seorang whistleblower merupakan ‘prosocial behaviour’ yang menekankan untuk membantu pihak lain dalam menyehatkan sebuah organisasi atau perusahaan. Seorang whistleblower mempunyai motivasi tertentu untuk mengungkap fakta, seperti pencitraan organisasi, kolegialisme sesama pekerja atau pegawai di lingkungannya bekerja. Meski tak dapat dipungkiri pula ada kepentingan individu sang whistleblower yang terkadang menjadi alasan kuat untuk mengungkap sebuah skandal kejahatan. Efektivitas Penerapan Whistleblowing System Komite Nasional Kebijakan Governance (2008:22) menyatakan bahwa efektivitas penerapan whistleblowing system antara lain tergantung dari:
1. Kondisi yang membuat karyawan yang menyaksikan atau mengetahui adanya pelanggaran untuk melaporkannya.
a) Peningkatan pemahaman etika perusahaan dan pembina iklim keterbukaan.
b) Meningkatnya kesadaran dan pemahaman yang luas mengenai manfaat dan
pentingnya program whistleblowing system.
c) Tersedianya saluran untuk menyampaikan pelaporan pelanggaran tidak
melalui jalur manajemen yang biasa.
d) Kemudahan menyampaikan laporan pelanggaran.
e) Adanya jaminan kerahasiaan (confidentiality) pelapor.

2. Sikap perusahaan terhadap pembalasan yang mungkin dialami oleh pelapor
pelanggaran.
a) Kebijakan yang harus dijelaskan kepada seluruh karyawan terkait dengan
perlindungan pelapor.
b) Direksi harus menunjukkan komitmen dan kepemimpinannya untuk
memastikan bahwa kebijakan ini memang dilaksanakan.
3. Kemungkinan tersedianya akses pelaporan pelanggaran ke luar perusahaan,
bila manajemen tidak mendapatkan respon yang sesuai.
a) Kebesaran hati Direksi untuk memberikan jaminan bahwa hal tersebut tidak
menjadi masalah.
b) Manajemen berjanji untuk menangani setiap laporan pelanggaran dengan
serius dan benar.
Jenis-Jenis Whistleblowing
Menurut Hertanto (2009:12) whistleblowing dikategorikan menjadi dua
jenis yaitu:
a. Whistleblowing internal, terjadi ketika seorang karyawan mengetahui
kecurangan yang dilakukan karyawan kemudian melaporkan kecurangan
tersebut kepada atasannya.
b. Whistleblowing eksternal, terjadi ketika seorang karyawan mengetahui
kecurangan yang dilakukan oleh perusahaan lalu membocorkannya kepada
masyarakat karena kecurangan itu akan merugikan masyarakat sehingga dapat
dikatakan sebagai tindakan kewarganegaraan yang baik
Manfaat Whistleblowing System

Menurut Komite Kebijakan Nasional Governance (2008:2) manfaat dari
penyelenggaran whistleblowing system yang baik antara lain adalah:
1. Tersedianya cara penyampaian informasi penting dan kritis bagi perusahaan
kepada pihak yang harus segera menanganinya secara aman
2. Timbulnya keengganan untuk melakukan pelanggaran, dengan semakin
meningkatnya kesediaan untuk melaporkan terjadinya pelanggaran, karena
kepercayaan terhadap sistem pelaporan yang efektif.
3. Tersedianya mekanisme deteksi dini (early warning system) atas kemungkinan
terjadinya masalah akibat suatu pelanggaran.
4. Tersedianya kesempatan untuk menangani masalah pelanggaran secara internal
terlebih dahulu, sebelum meluas menjadi masalah pelanggaran yang bersifat
publik.
5. Mengurangi risiko yang dihadapi organisasi akibat dari pelanggaran, baik dari
segi keuangan, operasi, hukum, keselamatan kerja, dan reputasi.
6. Mengurangi biaya dalam menangani akibat dari terjadinya pelanggaran.
7. Meningkatnya reputasi perusahaan di mata pemangku kepentingan
(stakeholders), regulator, dan masyarakat umum.
8. Memberikan masukan kepada organisasi untuk melihat lebih jauh area kritikal dan proses kerja yang memiliki kelemahan pengendalian internal, serta untuk  merancang tindakan perbaikan yang diperlukan.

Profesionalisme Auditor Terhadap Tindakan Untuk Melakukan Whistleblowing Merdikawati (2012) menemukan bahwa profesionalisme sangat penting untuk melakukan whistleblowing. Sagara (2013) membuktikan dalam penelitiannya bahwa semakin tinggi profesionalisme internal auditor (dimensi
dedikasi terhadap pekerjaan) maka intensi untuk melakukan whistleblowing menjadi tinggi. Adanya pengaruh yang signifikan dari dedikasi terhadap pekerjaan tehadap intensitas melakukan whistleblowing dapat dikarenakan adanya posisi yang ditanggung terhadap pekerjaan yang diemban auditor. Sebagai seorang auditor, ada hal yang melekat pada diri auditor dalam memilih mana yang harus diutamakan. Hal ini terkait pula dengan faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja auditor yang mengedepankan peran dan dedikasi individu terhadap pekerjaan sebagai auditor. Berdasarkan wawancara dan observasi serta analisa terlihat jelas bahwa para auditor yang memiliki tingkat profesionalisme tinggi memiliki komitemen yang tinggi terhadap profesi/pekerjaan atau tugas yang dipikul mereka, sehingga mereka cenderung berani berintesi dalam melakukan whistleblowing.
Hubungan Antara Whistleblowing System dan Efektivitas Audit Internal dengan Pendeteksian Kecurangan (Fraud) Dalam penelitian yang dilakukan oleh KPMG (Klynveld, Peat, Marwick & Goerdeler) pada tahun 2010 mengenai cara-cara yang paling efektif dalam mendeteksi terjadinya fraud atau penyimpangan adalah sebagai berikut:

Cara-cara Mengatasi Fraud Tingkat Persentasenya
Internal Audit 47%
Anonymous Call/Letter 38%
Others (Please Specify) 27%
Whistle-blower Hotline 26%
By Accident 24%
Data Analytics (Trends) 21%
IT Controls 13%
Statutory Audit 5%
Sumber: KPMG in India‟s Fraud Survey 2010.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh KPMG (Klynveld, Peat, Marwick & Goerdeler) pada tahun 2010 maka dapat disimpulkan bahwa efektivitas dari audit internal dan adanya penerapan whistleblowing system berpengaruh terhadap pendeteksian kecurangan (fraud). Auditor internal dituntut untuk waspada terhadap setiap hal yang menunjukkan adanya kemungkinan fraud, yang mencakup identifikasi titik-titik kritis terhadap kemungkinan terjadinya fraud dan penilaian terhadap system pengendalian yang ada, dimulai sejak lingkungan pengendalian hingga pemantauan terhadap penerapan system pengendalian. Seandainya terjadi fraud, auditor internal bertanggung jawab untuk membantu manajemen mendeteksi dan mencegah fraud dengan melakukan pengujian dan evaluasi keandalan dan efektivitas dari pengendalian, seiring dengan potensi risiko terjadinya fraud dalam berbagai segmen (Modul Fraud Auditing yang dikeluarkan oleh Pusdiklatwas BPKP tahun 2008).

Audit internal juga merupakan bagian penting dari struktur tata kelolaorganisasi perusahaan. Pentingnya ini disorot oleh Institute of Internal Auditor (IIA) Practice Advisory 2130-1 pada peran auditor internal dalam budaya etis suatu organisasi, yang menekankan bahwa auditor internal harus mengambil peran aktif dalam mendukung budaya etis organisasi dan dengan cara ini dapat membantu mendeteksi penyalahgunaan asset organisasi (IIA, 2004).

Hubungan Antara Whistleblowing System dan Efektivitas Audit Internal dengan Pencegahan Kecurangan (Fraud) Aktivitas pengendalian merupakan bagian rencana dan implementasi program anti-fraud dan pengendalian risiko fraud. Apabila langkah ini sudah dilaksanakan, penting sekali agar komunikasi tingkat organisasi dan sharing pengetahuan dilaksanakan (komunikasi bisa dilakukan dengan pihak luar organisasi, seperti dengan vendor dan pelanggan sehingga fraud dan kolusi dengan pihak ketiga bisa diminimalisir dan kegiatan yang mencurigai dapat dilaporkan melalui whistleblowing system) (Husaini, 2008:146).

Dengan adanya penerapan whistleblowing system di suatu perusahaan yang merupakan wadah bagi seorang whistleblower dalam mencegah atau mengungkap kecurangan yang terjadi di dalam perusahaan. Penerapan whistleblowing system merupakan salah satu bentuk dari pengendalian internal perusahaan dalam meminimalisir dan menekan risiko yang mungkin terjadi. Auditor internal berfungsi membantu manajemen dalam pencegahan (prevention), pendeteksian (detection), dan penginvestigasian (investigation) penyimpangan atau kecurangan (fraud) yang terjadi di suatu organisasi (perusahaan). 

Sesuai interpretasi Standar Profesional Audit Internal (SPAI) tahun 2004, tentang pengetahuan mengenai penyimpangan, dinyatakan bahwa auditor internal harus memiliki pengetahuan yang memadai untuk dapat mengenali, meneliti, dan menguji adanya indikasi penyimpangan. Pada organisasi fungsi audit internal mempunyai peranan penting untuk meningkatkan kesadaran fraud di dalam suatu organisasi, dengan cara :
mendorong manajemen senior untuk menetapkan tone at the top, menciptakan
kesadaran pengendalian, dan membantu mengembangkan respons yang terpercaya
terhadap risiko fraud yang potensial. Termasuk juga mempertegas eksistensi dan
kepatuhan kepada nilai-nilai organisasi dan code of conduct perusahaan serta
melaporkan setiap aktivitas yang memunculkan kerugian pada aktivitas yang
ilegal, tidak etis, atau immoral melalui whistleblowing system (WBS) (Husaini, 
2008:144).

Berdasarkan survey kecurangan 1998 KPMG atas 5000 perusahaan dan
organisasi Amerika Serikat, kecurangan ditemukan karena:

Cara-cara Menemukan Fraud Tingkat Persentasenya
Pemberitahuan Oleh Karyawan 58%
Pengendalian Internal 51%
Auditor Internal 43%
Pemberitahuan Pelanggan 41%
Penemuan Tidak Sengaja 37%
Penyelidikan Manajemen 35%
Pelaporan Anonim 35%
Pemberitahuan Hotline 25%
Penyelidikan Karyawan 21%
Pemberitahuan Pemerintah/Polisi 16%
Auditor Eksternal 4%
Sumber-sumber Lain 20%
Sumber: Amin Widjaya Tunggal (2014:3)

Post a Comment

1 Comments

  1. It's very nice of you to share your knowledge through posts. I love to read stories about your experiences. They're very useful and interesting. I am excited to read the next posts. I'm so grateful for all that you've done. Keep plugging. Many viewers like me fancy your writing. Thank you for sharing precious information with us. Best Diversity and Inclusion service provider.

    ReplyDelete